Rusia kembali menyampaikan peringatan keras kepada Ukraina, kali ini lewat mantan Presiden Dmitry Medvedev, yang mengibaratkan situasi Kiev seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang—hanya memiliki satu peluang terakhir untuk menyelamatkan eksistensinya sebagai negara berdaulat.
Medvedev, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, menyampaikan pernyataan itu saat berbicara dalam forum hukum internasional di St. Petersburg, Selasa (21/5/2025). Ia menyoroti ketidaksukaan Moskow terhadap struktur kekuasaan yang saat ini berkuasa di Kiev, namun tetap membuka ruang negosiasi untuk menghindari kehancuran total.
“Para pemimpin Ukraina punya ‘satu kesempatan terakhir untuk mempertahankan, dalam kondisi tertentu, setelah berakhirnya aksi militer, semacam status kenegaraan atau, jika Anda suka, semacam kepribadian hukum internasional dan memperoleh kesempatan untuk pembangunan yang damai,’” ucap Medvedev.
Pernyataan tersebut mencerminkan pandangan Rusia bahwa Ukraina tengah berada di titik kritis dalam sejarahnya. Seperti api lilin yang hampir padam, status kenegaraan Ukraina dipandang berada dalam bahaya jika tidak segera mengambil langkah menuju penyelesaian damai.
Medvedev juga menegaskan bahwa pemerintahan di Kiev saat ini tidak memiliki otoritas yang diakui secara sah oleh Moskow. Ia menyebut struktur kekuasaan tersebut sebagai bentuk negara semu atau quasi state, yang menurutnya telah gagal menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan.
Meski begitu, Rusia tidak menutup pintu terhadap dialog. Mereka tetap membuka peluang untuk mengadakan pembicaraan damai tanpa prasyarat. Fokus utama, menurut Medvedev, adalah membicarakan realitas yang berkembang di medan perang serta menyentuh akar persoalan yang memicu konflik berkepanjangan ini.
“Moskow khawatir bahwa saat ini tidak ada individu di Ukraina yang memiliki kewenangan hukum untuk menandatangani perjanjian damai apa pun dengan Rusia,” katanya, dilansir RT.
Kekhawatiran itu, lanjut Medvedev, terutama berkaitan dengan kemungkinan bahwa kesepakatan yang dibuat oleh pemerintahan saat ini bisa dibatalkan oleh penguasa baru yang muncul setelah pergantian rezim. Masa jabatan Presiden Volodymyr Zelensky sejatinya telah usai sejak tahun lalu, namun pemilihan umum yang seharusnya digelar terus ditunda dengan dalih kondisi darurat akibat invasi Rusia.
Dari sisi Rusia, muncul sinyal baru yang mengisyaratkan kesiapan mereka untuk melanjutkan negosiasi, bahkan bila itu harus melibatkan Zelensky yang statusnya sedang dipertanyakan.
“Kepentingan untuk memasuki proses penyelesaian damai berada di atas segalanya,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, menekankan bahwa “tujuan utama adalah untuk memulai proses perundingan ini,” sementara semua pertanyaan lainnya adalah “sekunder.”
Langkah konkret menuju pembicaraan lebih lanjut pun mulai terlihat. Pekan lalu, delegasi dari kedua negara bertemu di Istanbul. Ini menjadi kontak langsung pertama sejak Kiev menarik diri secara sepihak dari jalur diplomasi pada 2022.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penting. Kepala perunding Rusia, Vladimir Medinsky, menyebut bahwa kedua pihak telah menyetujui pertukaran tawanan perang dalam jumlah besar—1.000 orang dari masing-masing pihak. Selain itu, disepakati pula untuk melanjutkan kontak setelah proposal gencatan senjata dirampungkan.
Dengan segala perkembangan ini, nasib Ukraina kini berada di ujung tombak sejarah. Kesempatan yang disebut Medvedev sebagai “terakhir” itu bisa menjadi jalan menuju perdamaian… atau akhir dari kenegaraan seperti yang dikenal dunia saat ini.