Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan bahwa kebijakan amnesti yang akan diberikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto tidak akan mencakup narapidana politik yang terlibat dalam aksi makar dengan penggunaan senjata.
“(Amnesti) tidak diperuntukkan bagi mereka yang bersenjata,” ujar Pigai saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi XIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Pigai menjelaskan bahwa pertimbangannya didasarkan pada aspek keamanan dan kepastian hukum. Ia menyoroti risiko yang dapat muncul jika individu yang pernah terlibat dalam aksi bersenjata kembali diberikan kebebasan melalui amnesti.
“Siapa yang bisa memastikan setelah kami kasih amnesti, mereka tidak lakukan aksi lagi?” katanya.
Menurutnya, narapidana politik yang memiliki rekam jejak penggunaan senjata kemungkinan besar tidak akan memenuhi kriteria dalam proses asesmen hukum yang sedang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
“Sehingga yang bersenjata agak riskan (bila diberikan amnesti), agak riskan. Bisa saja memegang senjata setelah membunuh orang, kemudian masuk penjara, kami kasih amnesti, keluar (penjara) dia balas lagi. Orang yang biasa membunuh, membunuh manusia adalah hal yang biasa,” tuturnya.
Pigai juga menekankan aspek kemanusiaan dalam kebijakan ini. Ia berpendapat bahwa dari sudut pandang humanisme, keputusan untuk tidak memberikan amnesti kepada narapidana bersenjata memiliki alasan yang kuat.
“Karena itulah sebenarnya aspek humanisme, kemanusiaan. Sebagai Menteri HAM dari sudut pandang saya, kemungkinan mungkin agak sulit untuk kami kabulkan mereka yang bersenjata,” tambahnya.
Di sisi lain, ia menegaskan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana politik yang melakukan tindakan makar tanpa menggunakan senjata.
“Mereka yang menyampaikan pendapat pikiran dan perasaan, yang berbeda ideologi, yang berbeda pandangan, yang berbeda keberpihakan. Ada yang karena keberpihakan kepada rakyatnya kemudian mengucapkan kasus-kasus, kata-kata yang mengandung unsur makar karena ada berbeda ideologi memakai atribut-atribut yang bertentangan dengan negara. Itu akan diberikan amnesti, tapi bukan untuk yang bersenjata,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pigai juga mengungkapkan bahwa kebijakan amnesti mencakup narapidana politik dari Papua, termasuk mereka yang terafiliasi dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dengan harapan menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian di wilayah tersebut.
“Yang lain semua dikasih, aktivis KNPB di Papua, aktivis apa pun semua diberikan kebebasan, setelah kebebasan jangan bikin (atau) menciptakan instabilitas, (tapi) ciptakan perdamaian,” tegasnya.
Selain narapidana politik, Pigai juga merinci bahwa kelompok yang akan menerima amnesti mencakup individu dengan kondisi kesehatan tertentu, seperti penderita penyakit kronis, lansia, penyandang disabilitas, wanita hamil, ibu yang merawat bayi di bawah usia tiga tahun, anak di bawah umur, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), serta mereka yang tersangkut kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).