Di sebuah kafe di kawasan Kemang, seorang kepala daerah yang baru saja kembali terpilih mengungkapkan keluhannya tentang besarnya biaya politik. “Tidak sebanyak periode pertama, tapi tetap saja besar, Mas,” katanya sembari menikmati secangkir kopi.
Pembiayaan politik yang tinggi sering kali menjadi permasalahan klasik dalam setiap pemilu dan pilkada. Banyak kandidat merasa terbebani dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk kampanye, logistik, serta berbagai aktivitas politik lainnya. Namun, apakah benar bahwa politik selalu identik dengan biaya besar? Di Situbondo, sebuah wilayah dengan mayoritas masyarakat santri, terdapat pelajaran berharga tentang bagaimana strategi cerdas dapat memangkas tingginya biaya politik.
Survei yang dilakukan oleh Politika Research and Consulting (PRC) pada Juni 2024 mengungkapkan bahwa 43% masyarakat Situbondo cenderung memilih berdasarkan rekomendasi kiai, yang dikenal sebagai basis kultural. Sementara itu, 57% lainnya berasal dari berbagai latar belakang politik di luar basis kultural tersebut. Data ini menunjukkan bahwa diperlukan strategi politik yang mampu membangun jaringan relawan tidak hanya di lingkup basis kultural, tetapi juga dalam berbagai segmen pemilih lainnya di Kabupaten Situbondo.
Pemilih kultural di Situbondo umumnya mengikuti arahan kiai yang mereka hormati. Mereka memiliki loyalitas yang kuat terhadap pemimpin spiritualnya dan cenderung menentukan pilihan politik berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang mereka anut. Pola ini disebut sebagai ‘politik spiritual kiai’.
Sementara itu, pemilih struktural lebih mengutamakan afiliasi terhadap partai politik tertentu. Partai-partai seperti PPP dan PKB telah lama menjadi tumpuan bagi kelompok ini. Meskipun sering kali sejalan dengan pemilih kultural, pemilih struktural memiliki preferensi politik yang dipengaruhi oleh kebijakan partai dan tradisi organisasi mereka.
Di sisi lain, terdapat pemilih intelektual yang meskipun jumlahnya lebih kecil, memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk opini publik serta menyebarkan narasi positif tentang kandidat. Mereka lebih rasional dalam menentukan pilihan politik, berdasarkan gagasan, visi-misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh kandidat.
Terakhir, terdapat pemilih pragmatis yang cenderung menentukan pilihan berdasarkan keuntungan langsung yang dapat mereka peroleh, seperti bantuan materi, uang, atau fasilitas lainnya.
Memahami karakteristik setiap kelompok pemilih menjadi kunci dalam menyusun strategi politik yang efektif. Tantangannya adalah mengintegrasikan pemilih organik—yang mencakup pemilih intelektual dan pragmatis—dengan pemilih kultural serta struktural yang memiliki nilai perjuangan berbeda.
Strategi Relawan: Dari Nilai Menuju Militansi
Di Situbondo, strategi berbasis relawan menjadi solusi utama dalam menekan biaya politik. Pendekatan ini mengandalkan semangat gotong royong yang telah mengakar di masyarakat. Teori volunteerism yang dikemukakan oleh Wilson dan Musick menjelaskan bahwa relawan termotivasi oleh nilai, kebutuhan pengembangan diri, serta hubungan sosial.
Keberhasilan strategi relawan ini terletak pada pemanfaatan kekuatan kelompok kultural sebagai simpul utama. Kelompok ini memiliki peran sentral dalam menjembatani berbagai lapisan masyarakat, serta membentuk relawan militan dari berbagai latar belakang. Para relawan ini tidak hanya menjadi pendukung pasif, tetapi juga motor penggerak kampanye yang aktif dan penuh dedikasi.
Fenomena menarik terjadi ketika berbagai kelompok pemilih, baik kultural, struktural, maupun organik, bersatu untuk mendukung satu kandidat. Militansi para relawan terlihat dalam berbagai aksi nyata, seperti penggalangan dana mandiri untuk kebutuhan kampanye, serta penyelenggaraan acara syukuran tanpa bantuan finansial dari tim pemenangan. Ini menunjukkan bahwa politik berbasis relawan tidak hanya lebih hemat biaya, tetapi juga lebih tulus dan solid.
Selain itu, strategi berbasis relawan membuktikan bahwa politik tidak selalu harus berbasis transaksi materi. Para relawan bekerja keras bukan karena janji keuntungan langsung, melainkan karena keyakinan pada nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung oleh kandidat mereka.
Lebih jauh, pendekatan ini membuka peluang bagi demokrasi yang lebih partisipatif dan sehat. Dengan memahami peta pemilih dan mengintegrasikan berbagai segmen masyarakat melalui strategi yang tepat, biaya politik dapat ditekan tanpa mengurangi kualitas kampanye.
Peran Masyarakat Kultural dalam Demokrasi
Keunggulan masyarakat kultural di Situbondo tidak hanya terlihat dalam militansi mereka saat kampanye, tetapi juga dalam peran mereka setelah kandidat terpilih. Tokoh agama, terutama kiai, memiliki peran penting dalam menjaga moralitas dan mengawal pemerintahan yang bersih. Ketika pemimpin menyimpang, masyarakat kultural memiliki mekanisme kontrol sosial yang kuat untuk menuntut pertanggungjawaban.
Sejarah mencatat peristiwa pada 29 Oktober 2008, ketika masyarakat dan santri di Situbondo melakukan aksi massa untuk menuntut Bupati Ismunarso diadili atas dugaan korupsi dana kas kabupaten atau “kasgate”. Aksi ini menunjukkan keberanian masyarakat kultural dalam menegakkan keadilan dan integritas pemerintahan.
Dalam perspektif teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas, demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik untuk diskusi terbuka dan rasional. Di Situbondo, politik spiritual menciptakan ruang tersebut melalui interaksi antara pemimpin dan masyarakat, di mana kiai berperan sebagai moderator untuk memastikan kebijakan yang diambil selaras dengan prinsip moralitas yang tinggi.
Militansi masyarakat kultural di Situbondo menjadi kekuatan utama dalam mewujudkan perubahan. Mereka bukan hanya pendukung kandidat, tetapi juga penjaga moral dan pengawas pemerintahan. Fenomena ini mengajarkan bahwa demokrasi tidak harus selalu bergantung pada uang. Dengan strategi berbasis nilai lokal dan semangat kerelawanan, Situbondo membuktikan bahwa demokrasi dapat berjalan lebih sehat, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Situbondo memberikan pelajaran penting: kemenangan dalam politik bukan hanya soal modal besar, tetapi lebih pada bagaimana memahami dan menggerakkan hati rakyat.