Kejaksaan Agung (Kejagung) mendapat dorongan kuat dari berbagai pihak untuk menyingkap aktor yang diduga menjadi tameng dalam dugaan praktik lancung terkait tata kelola minyak mentah dan hasil olahan kilang milik PT Pertamina (Persero) selama kurun waktu 2018 hingga 2023.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyoroti bagaimana dugaan skandal besar ini seolah kebal dari jangkauan hukum selama bertahun-tahun. “Seolah selama 2018-2023 megakorupsi itu tidak tersentuh karena kesaktian beking. Akan tetapi, sudah tidak sakti lagi sejak awal 2025. Tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas, termasuk menyikat bekingnya, megakorupsi Pertamina pasti terulang lagi,” terang Fahmy Radhi, kemarin.
Fenomena ini menandakan bahwa selama lima tahun terakhir, dugaan tindak pidana korupsi dalam sektor energi diduga mendapat perlindungan dari pihak-pihak tertentu. Namun, momentum tahun 2025 tampaknya menjadi titik balik bagi upaya penegakan hukum yang lebih tegas dan menyeluruh.
Fahmy menjelaskan bahwa modus operandi yang dijalankan oleh kelompok mafia migas ini tidak jauh berbeda dengan pola yang pernah terjadi sebelumnya. Ia mengungkapkan bahwa jaringan tersebut kerap melakukan manipulasi harga melalui penggelembungan (mark-up) pada impor minyak mentah serta bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, mereka juga memanfaatkan teknik peningkatan kualitas bahan bakar (blending) dengan mengubah pertalite (RON 90) menjadi pertamax (RON 92), yang kemudian dijual dengan harga lebih tinggi.
Dengan adanya indikasi pola korupsi yang berulang, dorongan kepada Kejagung untuk bertindak tegas semakin menguat. Publik berharap agar tidak hanya para pelaku lapangan yang tersentuh hukum, tetapi juga pihak-pihak yang berperan sebagai tameng perlindungan bagi kejahatan ini. Tanpa langkah penegakan hukum yang menyeluruh, bukan tidak mungkin praktik serupa akan terus berulang dan semakin merugikan negara.