Di tengah lanskap geopolitik yang penuh ketegangan, Iran melontarkan sebuah gagasan tak biasa: mendirikan proyek bersama untuk pengayaan nuklir yang melibatkan partisipasi negara-negara Arab dan Amerika Serikat.
Laporan eksklusif dari The New York Times, yang dipublikasikan Selasa (13/5/2025), mengutip empat pejabat tinggi Iran yang memahami dinamika internal usulan tersebut. Menurut sumber tersebut, ide ini muncul dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi dan utusan khusus AS, Steve Witkoff, yang berlangsung di Oman pada Minggu lalu.
Langkah ini dipandang sebagai upaya kompromi, menggantikan permintaan keras dari Presiden AS Donald Trump yang ingin agar seluruh instalasi nuklir Iran dibongkar sepenuhnya. Jika permintaan Trump ibarat ingin memadamkan api dari sumbernya, maka tawaran Iran ini justru mengajak untuk menjaga bara tetap menyala, namun dalam pengawasan bersama.
Namun, pernyataan berbeda datang dari pihak Witkoff. Juru bicaranya, Eddie Vasquez, membantah keras adanya pembicaraan tersebut.
“Usaha patungan tidak pernah digulirkan atau didiskusikan,” tegas Vasquez kepada New York Times.
Hubungan diplomatik antara Washington dan Teheran sendiri telah membeku sejak 1980, membuat pertemuan langsung di antara mereka menjadi momen yang jarang terjadi—dan tentunya penuh makna strategis.
Di sisi lain, Presiden Iran Masoud Pezeshkian kembali menegaskan bahwa permintaan agar negaranya menghentikan seluruh program nuklir sama sekali tak bisa dinegosiasikan.
“Dari sudut pandang kami, pengayaan (uranium) adalah sesuatu yang mutlak harus dilanjutkan, dan tidak ada ruang untuk kompromi mengenai hal itu,” tegas Araghchi awal bulan ini.
Perlu diingat, AS sempat menarik diri dari kesepakatan nuklir internasional tahun 2015—perjanjian yang disahkan oleh Dewan Keamanan PBB—saat Trump masih menjabat pada periode pertamanya. Ia menuding Iran telah menyimpang secara diam-diam dari isi kesepakatan tersebut. Tuduhan yang langsung dibantah oleh pihak Teheran, yang justru menyatakan bahwa mereka tak melakukan pelanggaran apa pun. Meski begitu, sebagai bentuk respons, Iran mulai melonggarkan komitmennya terhadap perjanjian dan meningkatkan kapasitas pengayaan uraniumnya.
Empat sesi dialog antara Iran dan AS yang dimediasi oleh Oman sempat dinilai sebagai langkah menuju pencairan hubungan. Namun, bayang-bayang konflik tetap menggelayuti pembicaraan, terutama karena perbedaan tajam antara kedua negara dalam menyikapi isu-isu sensitif seperti perang di Gaza, serta serangan kelompok Houthi terhadap kapal-kapal internasional dan Israel.
Selama lawatan ke kawasan Timur Tengah yang berlangsung Selasa, Trump kembali melontarkan kecaman terhadap Republik Islam Iran.
Iran disebutnya sebagai “kekuatan paling merusak” di wilayah tersebut dan menegaskan Iran tidak boleh dibiarkan memperoleh senjata nuklir.
Dengan proposal nuklir patungan ini, Iran seolah melempar bola ke lapangan lawan—sebuah upaya diplomasi yang bisa diartikan sebagai sinyal perdamaian, atau mungkin hanya strategi untuk mengulur waktu. Dunia kini menanti bagaimana reaksi dari AS dan negara-negara Arab terhadap tawaran tak lazim ini.