Di tengah riuhnya hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, muncul fenomena sosial yang merangkai antara identitas budaya, kelas sosial, dan standar estetika yang terus berkembang. Salah satu istilah yang kerap digunakan dalam masyarakat Bandung adalah “Jamet,” sebuah singkatan dari “Jajal Metal,” yang mengacu pada usaha seseorang untuk meniru gaya hidup metal, atau sering juga dipahami sebagai lakuran dari “Jawa Metal,” yang mencirikan kelas pekerja asal Jawa. Meski demikian, makna dari istilah ini jauh lebih kompleks, melibatkan pandangan sosial yang berkembang di tengah masyarakat.
Jamet, pada awalnya digunakan sebagai julukan untuk perantau asal Jawa, terutama mereka yang datang ke Bandung untuk bekerja. Sebagai kelas pekerja yang mayoritasnya berada pada status ekonomi rendah, istilah ini berkembang menjadi lebih dari sekadar penggambaran gaya hidup. Jamet kini tidak hanya menggambarkan gaya berpakaian atau penampilan fisik, tetapi juga menjadi simbol ketidakmampuan sosial, sering kali dipadankan dengan istilah “janda mental” atau “jablay metal,” yang mengandung konotasi seksis, terutama bagi perempuan.
Simbol Kelas dan Kesenjangan Sosial
Istilah Jamet terus berkembang dan kini digunakan secara lebih luas dalam percakapan sehari-hari, bahkan menjadi cermin dari kelas sosial tertentu. Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat mengkategorikan individu berdasarkan penampilan, gaya hidup, hingga konsumsi budaya populer. Seperti halnya perbedaan antara musik indie yang sering dipandang lebih “puitik” dan elegan, dibandingkan dengan musik dangdut koplo yang dianggap lebih “enerjik” dan vulgar. Pilihan atas suatu barang atau layanan, seperti kedai kopi atau ponsel merek tertentu, sering kali menjadi simbol kelas sosial.
Di Bandung, fenomena ini semakin kuat dengan munculnya julukan “anak kabupaten,” sebuah sindiran terhadap mereka yang berasal dari luar kota dan dianggap memiliki gaya hidup yang lebih sederhana dan terkesan “norak.” Anak-anak kabupaten ini sering dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu: menyantap seblak di pinggir jalan, mengendarai motor dengan modifikasi murahan, dan berpakaian dengan hoodie kw. Namun, apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik pandangan ini? Apakah label “jamet” hanya sekadar cerminan dari gaya hidup yang berbeda atau juga menunjukkan sebuah ketimpangan sosial yang lebih dalam?
Bandung Coret dan Segregasi Sosial
Di luar pusat kota Bandung yang penuh dengan kemewahan dan pembangunan megah, ada kawasan yang dikenal dengan nama “Bandung Coret.” Kawasan ini sering kali dianggap sebagai antitesis dari citra Bandung sebagai kota yang modern dan maju. Di sini, kenyataan hidup terasa lebih keras—jalan-jalan yang dipenuhi coretan vandalisme, genangan air setelah hujan, dan ruang sosial yang ramai dengan kebisingan dan hiruk-pikuk. Bagi sebagian orang, Bandung Coret adalah tempat di mana “jamet” berkembang, tempat di mana budaya kelas bawah dan marginalisasi hidup berdampingan.
Namun, apakah ini berarti bahwa mereka yang tinggal di kawasan ini adalah korban dari sistem sosial yang lebih besar? Fenomena ini mengingatkan kita pada pemisahan yang sering terjadi antara pusat dan pinggiran, antara mereka yang berada dalam kelas sosial yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Kesenjangan ini tidak hanya terlihat dalam infrastruktur atau akses terhadap pendidikan dan kesehatan, tetapi juga dalam cara orang-orang ini dipandang oleh masyarakat kota.
Perubahan Gaya Hidup dan Perjuangan untuk Kelas Sosial
Dalam masyarakat Bandung, perbedaan kelas sosial ini terus berkembang dan diperburuk dengan adanya tren konsumtif yang semakin menguat. Gaya hidup yang dianggap lebih “modern” dan “beradab” sering kali dikaitkan dengan kemampuan finansial yang tinggi—dari memilih ponsel premium hingga mengikuti tren fashion terbaru. Bagi banyak orang, ini adalah cara untuk menunjukkan eksistensi dan status mereka dalam masyarakat. Namun, tak jarang, upaya untuk memasuki kategori kelas sosial tertentu berujung pada tekanan sosial yang berat.
Bahkan, banyak dari mereka yang berasal dari kelas pekerja atau menengah terjebak dalam siklus konsumtif ini, dengan memaksakan diri untuk mengikuti standar-standar baru demi diterima dalam kalangan masyarakat yang lebih mapan. Dalam upaya memenuhi ekspektasi sosial ini, mereka sering kali terjebak dalam hutang dan pembelian barang-barang yang sebenarnya tak mereka butuhkan.
Melawan Standar Sosial dan Mencari Ruang Publik
Pada akhirnya, baik mereka yang dianggap “Jamet,” anak kabupaten, atau bahkan mereka yang berasal dari kelas menengah yang ingin menjadi bagian dari “perkotaan,” semuanya berada dalam perjuangan untuk mencari tempat mereka di tengah sistem sosial yang penuh ekspektasi. Mereka berusaha menegaskan identitas mereka, meskipun sering kali harus berhadapan dengan pandangan masyarakat yang mencap mereka sebagai “tertinggal” atau “tak sesuai standar.”
Namun, di balik label negatif tersebut, ada perlawanan terhadap budaya dominan yang lebih sering mengedepankan konsumsi materialistik dan standar estetika yang sempit. Di alun-alun kota, di pinggir jalan, dan di ruang-ruang publik lainnya, mereka berkumpul, berbagi cerita, dan menegaskan keberadaan mereka. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap segregasi sosial dan eksklusivitas yang ada.
Dengan demikian, istilah “Jamet” atau “anak kabupaten” bukan hanya sekadar label sosial, tetapi juga simbol dari perjuangan kelas, identitas, dan eksistensi di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks. Mereka bukanlah orang-orang yang menolak dunia yang multikultural, tetapi justru mereka adalah bagian dari keberagaman yang berusaha menemukan ruang hidup yang layak dalam sebuah masyarakat yang sering kali terlalu terfokus pada citra dan kelas sosial.