Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, dengan tegas mengkritik gagasan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang ingin merelokasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara lain secara permanen.
Guterres menegaskan bahwa langkah semacam itu sebanding dengan tindakan “pembersihan etnis.”
“Memaksa warga Palestina keluar dari Gaza sama saja dengan pembersihan etnis. Tindakan seperti itu akan membuat harapan untuk solusi dua negara menjadi mustahil,” kata Guterres dalam wawancara dengan Al Arabiya Al Hadath, seperti dikutip Ahram, Jumat (31/1).
Trump Usulkan Relokasi, Guterres Ingatkan Pelanggaran Hukum Internasional
Donald Trump dalam beberapa kesempatan terakhir mengusulkan agar penduduk Gaza dipindahkan ke negara-negara di kawasan Timur Tengah, seperti Mesir dan Yordania. Menurutnya, kondisi Gaza yang luluh lantak akibat konflik menjadikannya tempat yang tidak layak huni, sehingga relokasi dianggap sebagai solusi terbaik bagi warga Palestina.
Namun, Guterres menegaskan bahwa pemulihan Gaza masih dapat dilakukan melalui kerja sama internasional, tanpa harus mengorbankan hak-hak rakyat Palestina. Ia menyoroti pentingnya rekonstruksi Gaza yang tetap berlandaskan prinsip hukum internasional.
Penolakan Keras dari Berbagai Pihak
Gagasan relokasi ini mendapatkan tentangan dari berbagai pihak, termasuk Hamas, Otoritas Palestina, serta negara-negara yang disebut dalam rencana tersebut.
Sejak Trump mengungkapkan wacana ini, Hamas langsung menyatakan keberatan dan menolak keras gagasan tersebut. Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, juga menegaskan sikapnya dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menerima proyek apa pun yang “bertujuan mengusir rakyat kami dari Jalur Gaza.”
Sementara itu, Yordania bersikeras bahwa rakyat Palestina memiliki hak untuk tetap tinggal di tanah mereka sendiri. Di sisi lain, Mesir juga menegaskan bahwa upaya untuk menggusur warga Palestina dari tanah mereka merupakan tindakan yang tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan.
Dengan meningkatnya gelombang penolakan dari komunitas internasional, rencana ini semakin memicu polemik dan menjadi sorotan dunia. Bagaimana kelanjutan dari perdebatan ini masih harus dilihat dalam perkembangan politik global ke depan.